Dimana kedaulatan
rakyat pada RUU Pilkada Baru?
Indonesia
adalah negara yang sudah 69 tahun merdeka. Proses dan perjuangan menuju
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sendiri adalah tidak mudah. Banyak masa sulit
yang harus dilewati oleh para pelaku pemerintah kala itu. Dimulai dari masa
Orde Lama, suatu masa transformasi besar-besaran dari masa penjajahan ke masa
kemerdekaan. Lanjut ke masa Orde Baru, dimana Indonesia mengalami kemajuan pada
demokrasi dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Meski akhirnya demokrasi tersebut
berjalan tidak terlalu baik, yang berpusat hanya pada kekuasaan sentral
pemerintah. Sehingga saat itu diganti dengan demokrasi Pancasila. Diakhiri
dengan masa Orde Reformasi, sebuah masa revolusi besar-besaran pada sistem
pemerintahannya. Pada waktu ini juga, hegemoni Soeharto telah runtuh dan sistem
demokrasi yang terbuka lebih ditonjolkan di masa-masa ini sampai sekarang.
Indonesia
tengah bahagia dan berada di ambang euforia politik yang sedang terjadi. Kenapa
tidak? Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden periode
2014-2019 pada tanggal 9 Juli 2014, yang diikuti pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla dan Prabowo Hatta-Hatta Rajasa. Tak dapat dipungkiri, pemilu kali ini
bisa dibilang sebagai salah satu pemilu yang paling kontroversial antara
negara-negara lainnya. Tetapi rupanya, ketika Joko Widodo dan Hatta Rajasa
sukses keluar sebagai pemenang, ada pihak lain yang ingin menyulut kekacauan
lain pada politik Indonesia. Ya, tak lain tak bukan, Parpol yang merupakan
gabungan dari Koalisi Merah Putih (tim pemenangan Prabowo-Hatta kala pemilu
presiden) secara tiba-tiba memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia pada awal
September 2014. Mereka mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan
alasan pilkada langsung menelan biaya yang sangat besar, pilkada langsung
mengantarkan 290 orang yang bermasalah dengan hukum, Kementerian Luar Negeri
juga mencatat setidaknya lebih dari 300 orang kepala daerah terpilih sejak 2004
terjerat kasus korupsi, dan seterusnya adalah hal-hal yang dianggap tidak
efektif jika pilkada langsung masih dilakukan.
Atas dasar itu, beberapa pihak dan aliansi politik
meminta untuk mensahkan kembali RUU Pilkada yang dipegang penuh oleh DPRD. Ide
untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD dituduh sebagai tindakan yang tidak
demokratis yang mirip dengan kebiasaan politik Orde Baru yang pongah saat
mengalami kejayaan selama 32 Tahun yang dipimpin oleh Soeharto, seorang militer
yang kerap dijuluki Presiden Otoriter oleh banyak peneliti bidang politik. Pada
masa rezim Orde Baru ini berkuasa, Kepala Daerah adalah merupakan jatah
untuk sekelompok orang dekat dan segolongan dengan Soeharto, saat itu
pejabatnya banyak yang berasal dari rezim militer. Tampaknya, oleh pemerintah
sekarang, masa 2014 akan di sama-ratakan dengan masa Orde Baru.
Seperti yang kita tahu, pilkada oleh DPRD ini telah
dilakukan juga pada masa Orde Baru. Tetapi, bisa dilihat sendiri hasilnya,
pilkada DPRD ini sangat tidak bagus untuk perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sekali lagi, hak dan kedaulatan rakyat ingin dikekang oleh kekuasaan-kekuasaan
tertentu pada pemerintahan. Masalanya adalah, pilkada oleh DPRD tidak membuat
demokrasi Indonesia lebih baik, tapi makin buruk dan akan terus terpuruk. Kita
akan menghadapi kondisi dimana kita tidak menggunakan hak pilih sebagai warga
negara, juga kondisi dimana kedaulatan rakyat yang sudah dibangun
berpuluh-puluh tahun lalu yang telah diperjuangkan oleh jasa-jasa pahlawan
kita, akan ternodai.
Pilkada langsung yang dilakukan adalah keseimbangan
yang baik antara pemerintah dan rakyat. Kita bisa melihat kerja sama yang
harmonis dalam pembangunan negara berdasarkan sistem demokrasi. Pilkada
langsung jika dilakukan sesuai asas-asas Luberjudil (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia, Jujur, dan Adil.), tidak akan terjadi hal-hal seperti yang dikemukakan
para aliansi politik yang mendukung Pilkada oleh DPRD. Pilkada oleh DPRD hanya
meningkatkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.), dan membuat tujuan
pemerintah dan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD tidak lagi selaras dan
sejalan. Karena di belakangnya ada pihak tertentu yang memanfaatkan hal ini
sebagai jalan masuk untuk merusak sistem pemerintahan Indonesia.
Jelas kita sebagai rakyat Indonesia tidak ingin
mengulangi masa yang sama seperti masa Orde Baru. Pilkada pada masa Orde Baru
dipermasalahkan karena dianggap tidak demokratis sehingga tidak memenuhi unsur
pemilu sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan,
"Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Proses pemilihan
kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi
wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang
diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD). Serta, Pasal
56 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah menyatakan, "Kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil".
Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala
Daerah (RUU Pilkada) sudah sejak 2010 disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU
Pilkada akan diselesaikan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian
pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah menggunakan undang-undang baru.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU
ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU
No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota,
sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari
lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh
rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.
Sistem demokrasi telah menjadikan semua masyarakat
setara, rakyat yang berasal dari berbagai golongan, kelas ekonomi, berbeda
latar belakang pendidikan, memiliki hak suara yang sama, setiap orang yang
telah memenuhi syarat untuk memilih sesuai dengan Undang-Undang Pemilu memiliki
satu suara. Untuk mempertahankan bargaining politik rakyat tersebut dan menolak
kepongahan orang-orang yang saat ini berpolitik, setiap rakyat yang menolak
bangkitnya kebiasaan politik Orde Baru harus bersatu padu melakukan aksi-aksi
massa untuk menekan DPR agar menolak menetapkan RUU Pilkada melalui DPRD.
Tetapi apa boleh buat, RUU Pilkada baru telah
dibuat dan disahkan. Bahkan akan mulai dilakukan di tahun-tahun depan. Kita
sebagai rakyat masih bisa menjaga kedaulatan itu tetap ada, dengan mengawasi penuh
gerak-gerik para pelaku politik Indonesia. Khususnya pada para kepala daerah
yang mulai dipilih tahun-tahun mendatang. Meski kita bukan penentu dan pemilih
mereka menjadi kepala daerah, tetaplah selalu ingat bahwa rakyat adalah pelaku
pembangun negara yang sesungguhnya dan sejati. Pelaku politik pemerintahan
hanyalah media perantara untuk kita, kitalah yang menentukan nasib negara
menjadi apa di masa-masa depan.
Penjelasan dan Keterangan Undang-Undang pada opini diatas adalah bersumber
dari :
http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=48326