Jumat, 05 Desember 2014

Opini ~ RUU Pilkada Oleh DPRD, Dimana Kedaulatan Rakyat?

Dimana kedaulatan rakyat pada RUU Pilkada Baru?
Indonesia adalah negara yang sudah 69 tahun merdeka. Proses dan perjuangan menuju kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sendiri adalah tidak mudah. Banyak masa sulit yang harus dilewati oleh para pelaku pemerintah kala itu. Dimulai dari masa Orde Lama, suatu masa transformasi besar-besaran dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan. Lanjut ke masa Orde Baru, dimana Indonesia mengalami kemajuan pada demokrasi dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Meski akhirnya demokrasi tersebut berjalan tidak terlalu baik, yang berpusat hanya pada kekuasaan sentral pemerintah. Sehingga saat itu diganti dengan demokrasi Pancasila. Diakhiri dengan masa Orde Reformasi, sebuah masa revolusi besar-besaran pada sistem pemerintahannya. Pada waktu ini juga, hegemoni Soeharto telah runtuh dan sistem demokrasi yang terbuka lebih ditonjolkan di masa-masa ini sampai sekarang.
Indonesia tengah bahagia dan berada di ambang euforia politik yang sedang terjadi. Kenapa tidak? Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden periode 2014-2019 pada tanggal 9 Juli 2014, yang diikuti pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Hatta-Hatta Rajasa. Tak dapat dipungkiri, pemilu kali ini bisa dibilang sebagai salah satu pemilu yang paling kontroversial antara negara-negara lainnya. Tetapi rupanya, ketika Joko Widodo dan Hatta Rajasa sukses keluar sebagai pemenang, ada pihak lain yang ingin menyulut kekacauan lain pada politik Indonesia. Ya, tak lain tak bukan, Parpol yang merupakan gabungan dari Koalisi Merah Putih (tim pemenangan Prabowo-Hatta kala pemilu presiden) secara tiba-tiba memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia pada awal September 2014. Mereka mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan alasan pilkada langsung menelan biaya yang sangat besar, pilkada langsung mengantarkan 290 orang yang bermasalah dengan hukum, Kementerian Luar Negeri juga mencatat setidaknya lebih dari 300 orang kepala daerah terpilih sejak 2004 terjerat kasus korupsi, dan seterusnya adalah hal-hal yang dianggap tidak efektif jika pilkada langsung masih dilakukan.
Atas dasar itu, beberapa pihak dan aliansi politik meminta untuk mensahkan kembali RUU Pilkada yang dipegang penuh oleh DPRD. Ide untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD dituduh sebagai tindakan yang tidak demokratis yang mirip dengan kebiasaan politik Orde Baru yang pongah saat mengalami kejayaan selama 32 Tahun yang dipimpin oleh Soeharto, seorang militer yang kerap dijuluki Presiden Otoriter oleh banyak peneliti bidang politik. Pada masa rezim Orde Baru ini berkuasa, Kepala Daerah adalah merupakan jatah untuk sekelompok orang dekat dan segolongan dengan Soeharto, saat itu pejabatnya banyak yang berasal dari rezim militer. Tampaknya, oleh pemerintah sekarang, masa 2014 akan di sama-ratakan dengan masa Orde Baru.
Seperti yang kita tahu, pilkada oleh DPRD ini telah dilakukan juga pada masa Orde Baru. Tetapi, bisa dilihat sendiri hasilnya, pilkada DPRD ini sangat tidak bagus untuk perkembangan demokrasi di Indonesia. Sekali lagi, hak dan kedaulatan rakyat ingin dikekang oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu pada pemerintahan. Masalanya adalah, pilkada oleh DPRD tidak membuat demokrasi Indonesia lebih baik, tapi makin buruk dan akan terus terpuruk. Kita akan menghadapi kondisi dimana kita tidak menggunakan hak pilih sebagai warga negara, juga kondisi dimana kedaulatan rakyat yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun lalu yang telah diperjuangkan oleh jasa-jasa pahlawan kita, akan ternodai.
Pilkada langsung yang dilakukan adalah keseimbangan yang baik antara pemerintah dan rakyat. Kita bisa melihat kerja sama yang harmonis dalam pembangunan negara berdasarkan sistem demokrasi. Pilkada langsung jika dilakukan sesuai asas-asas Luberjudil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil.), tidak akan terjadi hal-hal seperti yang dikemukakan para aliansi politik yang mendukung Pilkada oleh DPRD. Pilkada oleh DPRD hanya meningkatkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.), dan membuat tujuan pemerintah dan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD tidak lagi selaras dan sejalan. Karena di belakangnya ada pihak tertentu yang memanfaatkan hal ini sebagai jalan masuk untuk merusak sistem pemerintahan Indonesia.
Jelas kita sebagai rakyat Indonesia tidak ingin mengulangi masa yang sama seperti masa Orde Baru. Pilkada pada masa Orde Baru dipermasalahkan karena dianggap tidak demokratis sehingga tidak memenuhi unsur pemilu sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, "Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Proses pemilihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD). Serta, Pasal 56 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah menyatakan, "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil".
Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sudah sejak 2010 disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan diselesaikan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah menggunakan undang-undang baru.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.
Sistem demokrasi telah menjadikan semua masyarakat setara, rakyat yang berasal dari berbagai golongan, kelas ekonomi, berbeda latar belakang pendidikan, memiliki hak suara yang sama, setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk memilih sesuai dengan Undang-Undang Pemilu memiliki satu suara. Untuk mempertahankan bargaining politik rakyat tersebut dan menolak kepongahan orang-orang yang saat ini berpolitik, setiap rakyat yang menolak bangkitnya kebiasaan politik Orde Baru harus bersatu padu melakukan aksi-aksi massa untuk menekan DPR agar menolak menetapkan RUU Pilkada melalui DPRD.
Tetapi apa boleh buat, RUU Pilkada baru telah dibuat dan disahkan. Bahkan akan mulai dilakukan di tahun-tahun depan. Kita sebagai rakyat masih bisa menjaga kedaulatan itu tetap ada, dengan mengawasi penuh gerak-gerik para pelaku politik Indonesia. Khususnya pada para kepala daerah yang mulai dipilih tahun-tahun mendatang. Meski kita bukan penentu dan pemilih mereka menjadi kepala daerah, tetaplah selalu ingat bahwa rakyat adalah pelaku pembangun negara yang sesungguhnya dan sejati. Pelaku politik pemerintahan hanyalah media perantara untuk kita, kitalah yang menentukan nasib negara menjadi apa di masa-masa depan.

Penjelasan dan Keterangan Undang-Undang pada opini diatas adalah bersumber dari :
http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=48326

Tidak ada komentar:

Posting Komentar